[CERPEN] Eskrim Pantai
Iya, kan? Di ujung sana ada pantai yang bagus, mungkin kita
bisa mampir dulu. Tengah hari seperti ini membuatku ingin menggigit eskrim
disana. Hmm? Kenapa? Hahaha… Kenapa ya? Kenapa memangnya? Apakah salah kalau
ingin makan eskrim di pantai? Iya sih, bisa saja kita mampir di mini market,
dan langsung makan di mobil agar perjalanan kita tetap berlanjut. Tapi hey,
bukankah perjalanan ini untuk kita nikmati? Lagipula mata sipitmu sekarang
sudah benar-benar ingin menutup, kamu pasi mengantuk, kan? Makanya… Eh… Belok
kiri, Dim.
Hampir saja kelewatan.
***
Penjual eskrimnya masih disana, sepertinya kita harus jalan
di tepi pantai ini dulu.
Kelihatannya pantai ini sepi ya. Iya juga ya. Sepertinya
hanya dua idiot ini yang berniat mencari masalah dengan teriknya matahari yang
sedang bersinar tepat ada di atas kita. Hahaha. Iya iya, maaf. Cuma aku
idiotnya.
Hey, kamu tahu? Biarpun disiram oleh teriknya sang mentari,
pantai tetaplah pantai. Lautnya biru menghampar sepanjang mata memandang, ombak
yang berdesir senada dengan hembusan angin, dan yang terburuk, aroma asin yang
amat menusuk hidungku ini. Ya memang, kamu patut menatap aneh padaku, karena
mungkin cuma aku, wisatawan pengunjung pantai yang setiap menit harus menutup
mulut dan hidung, lalu mengeluh tentang asinnya aroma air laut. Dan lihat angin
yang kencang ini, bahkan berjalan saja aku harus memegangi rokku yang dari tadi
ditiup nakal oleh angin laut. Kamu enak, pakai celana pendek, pastinya dengan
santai menikmati hembusan angin nakal ini tanpa sedikitpun memaki kepadanya.
Pantai ini mungkin akan terlihat indah ketika pagi hari,
saat matahari pagi mengintip malu dari ufuk timur, menyemburatkan cahaya-cahaya
merah indahnya. Sayangnya kita datang pada saat matahari sudah tak tahu malu
lagi, panasnya benar-benar menyengat. Bahkan tak ada sedikitpun awan yang
berani menghalanginya. Lautan yang harusnya berwarna biru menyejukkan mata,
sekarang lihatlah, melirik saja membuat mataku jadi lebih sipit daripada
matamu. Dan kamu juga bias lihat, di ujung lautan sana, batas horizon tak lagi
nampak, seolah lautan menyatu dengan langit siang ini.
Mungkin kamu tidak mengerti maksudku aroma yang asin. Ya
seperti inilah aromanya. Aroma khas pantai. Memangnya hanya lidah yang bisa
mengecap asinnya air laut? Hidungku ini bisa mengecapnya bahkan sebelum aku
julurkan lidah ke air laut itu. Argh. Maaf, Dim. Mungkin ucapanku tidak
terdengar jelas di telingamu. Karena setiap angin sialan ini berhembus aku
harus selalu kerepotan, bingung antara menutup hidung, atau memegangi rok dan
topiku. Dan… Ah.. Itu dia penjual eskrimnya. Kamu mau beli juga?
***
Aku harap kamu tidak bosan mendengar semua kutukanku
terhadap asinnya aroma disini. Kalau kamu ingin tahu, sebenarnya aku membenci
pantai sejak lama. Aroma asin yang ditiup angin ini, entah kenapa, aku tidak
menyukainya. Dan sejatinya pun, lidahku juga memang tidak menyukai rasa asin
seperti ini. Dan sekarang coba lihat, manusia yang mengutuk rasa asin ini malah
mendatangi ladang garam terbesar di dunia demi seporsi eskrim. Hahaha. Silakan,
kamu boleh menertawai ironi yang sedang terjadi tepat di depan matamu. Tapi kamu tahu? Dari semua eskrim yang pernah
aku kecap, eskrim pantai ini adalah yang terbaik. Itulah alasanku datang
kesini.
Tapi ya, mungkin kamu benar. Mungkin sebenarnya bukan eskrim
ini yang aku nikmati. Atau bahkan mungkin aroma asin ini yang sebenarnya sedang
aku nikmati. Atau mungkin perpaduannya? Manisnya eskrim ini yang membuatku lupa
akan asinnya aroma lautan itu. Dingin yang merambat di tenggorokan meneduhkanku
dari hawa panas matahari pantai. Oh ini perpaduan yang sempurna. Eskrim ini
adalah surga kecil di tengah kutukan suasana pantai. Mungkin inilah cara
terbaik untuk menikmati eskrim. Adalah dengan mengecapnya di kondisi yang
paling tidak kamu sukai. Eskrim akan terasa enak saat kamu menangis, saat kamu
terluka, atau saat tenggorokanmu tersiksa setelah operasi amandel. Ya, eskrim
adalah candu peredam kesakitan itu. Candu? Mungkin kedengarannya konyol dan
terlalu berlebihan. Tapi coba pikirkan, dengan segenggam eskrim di tanganmu
setidaknya kamu bisa melupakan perasaan negatif akan segala hal yang terjadi
padamu. Aku rasa manusia butuh itu. Iya kita semua. Kita membutuhkan “eskrim”
kita masing-masing. Eskrim yang memberikan kita kesempatan untuk berharap
banyak kepada dunia, ketika diri ini rasanya tak sanggup lagi menerima realita.
Dan saat eskrim itu sudah meleleh habis di tenggorokanmu, paling tidak candunya
masih cukup membekas untuk menutupi asinnya realita.
Haah… Lihat, eskrimku cepat sekali meleleh. Padahal aku
ingin menikmatinya perlahan. Sangat perlahan. Hingga dapat kunikmati tanpa ada
rasa sesal yang tertinggal. Terlalu perlahan. Sampai Ia tak mampu lagi untuk
meleleh. Tapi aku masih cukup waras. Aku sadar itu egois. Candu ini harus aku
akhiri sekarang. Aku tahu persis. Eskrim ini tak lain hanyalah benda fana yang
menawarkan kenikmatan semu. Dan aku sangat paham, asinnya air laut inilah yang
abadi.
***
Hey, Dim…
Ayo…
Perjalanan kita masih jauh, ayo kita lanjutkan. Kita harus
sampai disana sebelum matahari karam di laut barat.
1 comments:
Hei terima kasih aku juga benci aroma pantai tapi suka eskrim! Aku benci rok tertiup angin pantai rambut berantakan karena angin pantai. Tapi demi eskrim terpaksa aku lewati itu tapi benar eskrim itu cepat meleleh dan kenikmatan itu hanya sementara tapi terima kasih cerita manis asin yang memotivasi ini! Hope you feeling well too today!
Post a Comment